Tanya : Di jaman sekarang banyak sekali pernikahan yang disebabkan karena pihak wanita mengalami ”kecelakaan” (hamil di luar nikah). Biasanya, keluarga wanita menuntut laki-laki yang telah menghamilinya tersebut untuk menikahinya. Atau, mereka (keluarga wanita) nekat mencari laki-laki yang bersedia menikahi wanita tersebut dan sekaligus menjadi ayah dari bayi yang telah dikandung. Bagaimana hukum Islam memandang hal ini?
Jawab : Hal pertama yang hendak kami katakan kepada semua kaum muslimin adalah agar takut kepada adzab Allah yang akan Ia berikan kepada setiap pelaku dosa sebagaimana firman Allah ta'ala :
إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا
"Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. [QS. Al-Insaan : 10].
Allah telah melarang kita untuk mendekati perbuatan zina sebagaimana firman-Nya :
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.[QS. Al-Israa’ : 32].
Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata :
والنهي عن قربانه أبلغ من النهي عن مجرد فعله لأن ذلك يشمل النهي عن جميع مقدماته ودواعيه
”Larangan (Allah) untuk mendekati zina lebih jelas/tegas daripada larangan perbuatan zina itu sendiri. Hal itu dikarenakan larangan tersebut juga meliputi larangan terhadap seluruh sebab yang menurus kepada zina dan faktor-faktor yang mendorong perbuatan zina” [Taisir Kariimir-Rahman].
Oleh karena itu, tidaklah pantas bagi seorang muslim/muslimah yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melakukan sesuatu hal yang membuat-Nya murka, termasuk dalam hal ini adalah perbuatan zina.
Mengenai pertanyaan yang Saudara sampaikan, sesungguhnya wanita tersebut tidak boleh langsung dinikahi, baik oleh laki-laki yang menzinahi atau yang selainnya. Baginya ada masa istibra’ (bersihnya rahim) jika ia tidak hamil; dan masa 'iddah [original_title] ia melahirkan jika hamil.
Apabila wanita hamil karena zina tersebut mempunyai suami, maka diharamkan bagi si suami untuk mencampurinya sampai melewati masa istibra' atau sampai melahirkan. Istibra’ yang dilakukan oleh wanita tersebut adalah sekali haidl saja. Hukum ini didasari oleh beberapa dalil, diantaranya :
1. Allah ta’ala berfirman :
وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
”Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” [QS. Ath-Thalaq : 4].
Pada dasarnya ’iddah dijalankan untuk mengetahui bersihnya rahim, sebab sebelum’iddah selesai ada kemungkinan wanita bersangkutan hamil. Menikah dengan wanita hamil itu aqadnya batal, nikahnya tidak sah, sebagaimana tidak sahnya menikahi wanita yang dicampuri karena syubhat [Ibnu Qudamah, Al-Mughni 6/601-602].
2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit Al-Anshari radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسق ماءه ولد غيره
”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyiramkan air (maninya) kepada anak orang lain” [HR. Tirmidzi no. 1131; hasan].
3. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ’anhu, bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wasalam pernah bersabda mengenai sejumlah tawanan perang Authas :
لا توطأ حامل حتى تضع، ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة
”Tidak boleh dicampuri wanita yang hamil [original_title] ia melahirkan, dan wanita yang tidak hamil tidak boleh dicampuri [original_title] ia haidl sekali” [HR. Abu Dawud no. 2157; shahih].
4. Hadits Abu Darda’ radliyallaahu 'anhu :
أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوا نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ
Bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam ia (Abu Dardaa’) mendatangi seorang wanita yang tengah hamil tua di pintu tenda besar Fusthath. Maka beliau shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barangkali ia (Abud-Dardaa’) (laki-laki yang memilikinya) ingin menyetubuhinya memilikinya ?”. Mereka (para shahabat) berkata : “Ya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh aku ingin melaknatnya dengan satu laknat yang ia bawa [original_title] ke kuburnya. Bagaimana ia bisa memberikan warisan kepadanya mewarisinya sedangkan ia tidak halal baginya ? Bagaimana ia akan menjadikannya pelayan (budak) sedangkan ia tidak halal baginya ?” [HR. Muslim no. 1441].
Rasulullah shallalaahu ’alaihi wasallam benar-benar mencela orang yang menikahi wanita yang sedang hamil. Maka tidak diperbolehkan untuk menikahi wanita yang sedang hamil (berdasarkan riwayat ini).
5. Ibnu Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :
إِذَا زَنَى الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ ثُمَّ نَكَحَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُمَا زَانِيَانِ أَبَدًا
”Apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, kemudian ia menikahinya setelah itu, maka keduanya tetap dianggap berzina selamanya”.
Menikah adalah satu kehormatan. Agar tetap terhormat, hendaklah seorang laki-laki tidak menumpahkan air (mani)-nya dengan cara berzina, sebab dengan cara berzina akan bercampur yang haram dengan yang halal. Akan bercampur juga air yang hina dengan air yang mulia [Al-Qurthubi, Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an 12/170; Ad-Dardiir, Asy-Syarhush-Shaghiir 2/410,717].
Pada dasarnya, seorang laki-laki atau wanita pezina yang belum bertaubat dari perbuatan zinanya diharamkan untuk menikahinya dengan dasar firman Allah : ”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” [QS. An-Nuur : 3].
Namun bila ia telah bertaubat dengan sebenar-benar taubat, maka hilanglah predikat sebagai pezina [lihat Al-Mughni 6/602]. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda :
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لا ذَنْبَ لَهُ
”Orang yang bertaubat (dengan benar) dari suatu dosa seperti orang yang tidak mempunyai dosa” [HR. Al-Hakim 2/349, Ibnu Majah no. 4250, dan yang lainnya; hasan].
Jika wanita yang hamil akibat perbuatan zina tersebut melahirkan anaknya, maka anak itu tidaklah dinasabkan kepada laki-laki manapun, baik yang menikahi ibunya atau yang tidak, baik yang
menzinahi atau yang tidak. Ia dinasabkan hanya kepada ibunya berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
”Anak itu bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)” [HR. Bukhari no. 1948 dan Muslim no. 1457].
Firasy adalah tempat tidur. Maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya. Keduanya dinamakan firasy, karena suami atau tuannya menggaulinya (tidur bersamanya). Sedangkan makna hadits di atas, anak itu dinasabkan kepada si pemilik firasy. Namun karena laki-laki pezina itu bukan suami (dari wanita yang dizinahi), maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya, dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan [Abdurrahman Ali Bassam, Taudlihul-Ahkaam 5/103].
Kesimpulan : (1) Haram hukumnya menikahi wanita yang hamil karena zina. Berlaku ’iddah bagi wanita tersebut [original_title] ia melahirkan kandungannya. Konsekuensinya, tidak boleh pula bagi orang tua si wanita untuk ”mencarikan” atau ”memaksa” seorang laki-laki untuk menikahi anaknya (wanita yang hamil karena zina) [original_title] ia melahirkan.[1] (2) Anak yang dilahirkan tidaklah dinasabkan kepada laki-laki manapun. Ia dinasabkan kepada ibunya. Wallaahu a’lam.
Abul-Jauzaa'
[1] Hendaknya tunduk dan takut akan hukum Allah lebih besar daripada malu di hadapan manusia karena mempunyai cucu yang tidak mempunyai bapak. Kita harus bersabar terhadap ujian dan cobaa, serta memohon ampun atas segala dosa yang telah kita lakukan. Pada hakekatnya, segala musibah yang menimpa kita adalah disebabkan oleh tangan kita sendiri, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa] http://abul-jauzaa.blogspot.com/
Pendapat Lain
Menikah Saat Hamil diluar nikah, Sahkah?
Wanita yang hamil karena perbuatan zina, adalah kasus yang marak terjadi di masyarakat. Para orang tua sering mengambil langkah untuk menikahkan putri mereka yang telanjur hamil. Tujuannya, untuk menutupi aib keluarga mereka.
Sebenarnya, mayoritas para ulama membolehkan pernikahan wanita yang sedang hamil akibat perzinaan dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Namun pendapat ulama yang lebih rajih (kuat) disyaratkan kepada kedua calon pengantin untuk bertobat dari dosa besar yang telah dilakukannya. Hal ini seperti diungkapkan dalam pendapat dari mazhab Imam Ahmad, Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid. Sedangkan ulama lain, seperti Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah, tetap mengesahkan pernikahan tersebut walau kedua calon pengantin belum bertobat.
Imam Ahmad berdalil dengan ayat Alquran, "Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin." (QS an-Nur [24]: 3).
Ayat ini menjadi dalil haramnya wanita dan laki-laki yang berzina untuk menikah sampai mereka bertobat. Pernikahan yang merupakan mitsaqan ghalizha (ikatan kuat nan suci) hanya bisa mengikat sepasang insan yang beriman. Adapun orang musyrik (non-Islam) atau pezina maka tidaklah berlaku ikatan pernikahan bagi mereka.
Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW melarang para sahabat menikah dengan wanita pezina. Seperti hadis ‘Amr bin Syu'aib, ia mengisahkan salah seorang sahabat bernama ‘Anaq ingin menikahi tawanan perempuan pezina. Rasulullah SAW diam, sampai surah an-Nur ayat 3 tersebut turun. Rasulullah SAW pun melarang ‘Anaq untuk menikahi wanita itu. (HR Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Hakim).
Namun, jika sudah bertobat secara nasuha dari dosanya sebagai pezina, barulah ia bisa menikah atau dinikahkan. Para ulama berbeda pendapat dengan bentuk tobat tersebut. Jika di negara Islam, pezina wajib menjalani hudud (hukuman Allah SWT) yang akan dieksekusi oleh pemerintah. Hukuman bagi pezina yang masih lajang tersebut, yakni hukuman dera sebanyak 100 kali.
Namun, jika ia berada di negara sekuler yang tidak berhukum dengan hukum Islam, pezina perlu bersungguh-sungguh dalam tobatnya secara nasuha dengan memenuhi lima kriteria, yaitu tobat yang ikhlas karena Allah, menyesali perbuatan, meninggalkan dosa tersebut, berazam (bertekad) sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya, dan memperbanyak amal ibadah sebagai ganti dari maksiat yang telah dilakukannya.
Setelah tobat, barulah wanita yang hamil karena perzinaan ini bisa dinikahkan dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Hal itu juga disahkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 2 Ayat (1). Dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga disebutkan, seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Mayoritas ulama dari Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat, tidak ada iddah bagi wanita yang hamil di luar nikah untuk melangsungkan pernikahan. Artinya, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan sesegeranya tanpa harus menunggu kelahiran anaknya.
Lantas, bagaimanakah hukumnya jika wanita yang hamil di luar nikah dinikahkan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya? Mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf pun memperbolehkan hal ini.
Namun terkait hal ini, mazhab Abu Hanifah menegaskan, memang boleh hukumnya menikahi wanita yang tengah hamil di luar nikah, namun belum boleh berjima’ dengannya. Kebolehan berjima’ hanya dibolehkan jika laki-laki yang menikahi merupakan orang yang menghamilinya. Adapun jika si suami bukanlah orang yang menghamilinya maka mereka harus menunggu sampai masa istibro’ (rahim telah kosong dari janin dan telah haid minimal sekali).
Hal ini berdalil dari hadis Abu Sa’id Al-Khudri RA tentang sabda Rasulullah SAW tentang tawanan wanita di Perang Authos. "Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali." (HR Ahmad).
Islam sangat menjaga nasab dan keturunan. Tidak boleh ada dua jenis sperma dalam rahim seorang wanita. Hal ini juga menjadi cikal bakal penyakit mematikan, seperti HIV dan AIDS. Hadis dari Ruwaifi’ bin Tsabit RA menyebutkan, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka jangan ia menyiramkan air (mani)nya ke ‘tanaman’ orang lain." (HR Ahmad, Abu, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).
Hukum ini memperlihatkan bagaimana indahnya Islam dalam menjaga nasab dan keturunan. Demikian pula, indahnya akhlak Islam dalam menjaga kehormatan dan kasih sayang sesama manusia. Bayangkan saja, jika wanita yang tengah hamil karena perzinaan harus menanggung sendiri beban kehamilannya sampai melahirkan. Sedangkan, laki-laki yang menghamilinya dengan enteng bisa pergi begitu saja.