Setelah dokter membacakan hasil lab yang menyatakan suami mandul, ia menjadi sering emosional. Sebab beberapa bulan terakhir, ia menjadi sasaran gunjingan kerabat dan tetangga. “Sudah empat tahun mereka menikah, belum juga punya anak. Masalahnya di istri atau di suami ya?”
Perkataan dokter hari itu seakan menjadi senjatanya. “Ternyata yang ada masalah kesuburuan adalah Anda Pak, sedangkan Ibu tidak ada masalah apa-apa,” kata dokter kepada mereka waktu itu.
Ketika ada masalah, istri menjadi uring-uringan dan menganggap suaminya sebagai biang keladi. Ketika terjadi perselisihan, istri merasa harus menang karena pokok permasalahan menurutnya adalah ketidakhadiran buah hati akibat kondisi suaminya.
Waktu terus berjalan. Lima tahun setelah pembacaan hasil lab itu, sang istri merasa habis kesabarannya.
“Aku sudah cukup bersabar dengan kondisi ini, Mas. Tapi aku tidak bisa bersabar lebih lama lagi. Aku ingin segera memiliki anak. Mungkin sudah saatnya kita berpisah,” kata-kata itu akhirnya terlontar dari lisan istri.
“Sabarlah istriku, ini cobaan dari Allah... jika kita bersabar, Allah akan menghadiahi pahala tanpa batas dan memasukkan kita ke dalam surgaNya,” sang suami mencoba mengingatkan istrinya dengan berbagai cara.
“Ya Allah... betapa mulianya pria itu. Sedangkan suamiku, suami macam apa dia. Sewaktu aku membutuhkannya, ia malah tidak berada di sampingku.”
Operasi berjalan lancar. Dengan izin Allah, ia pun sembuh dan bisa beraktifitas seperti sedia kala.
Setelah sepekan, suaminya datang dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda kelelahan. Suaminya yang selama ini tampak kuat sekarang kelihatan sering kecapekan.
Perkataan dokter hari itu seakan menjadi senjatanya. “Ternyata yang ada masalah kesuburuan adalah Anda Pak, sedangkan Ibu tidak ada masalah apa-apa,” kata dokter kepada mereka waktu itu.
Ketika ada masalah, istri menjadi uring-uringan dan menganggap suaminya sebagai biang keladi. Ketika terjadi perselisihan, istri merasa harus menang karena pokok permasalahan menurutnya adalah ketidakhadiran buah hati akibat kondisi suaminya.
Waktu terus berjalan. Lima tahun setelah pembacaan hasil lab itu, sang istri merasa habis kesabarannya.
“Aku sudah cukup bersabar dengan kondisi ini, Mas. Tapi aku tidak bisa bersabar lebih lama lagi. Aku ingin segera memiliki anak. Mungkin sudah saatnya kita berpisah,” kata-kata itu akhirnya terlontar dari lisan istri.
“Sabarlah istriku, ini cobaan dari Allah... jika kita bersabar, Allah akan menghadiahi pahala tanpa batas dan memasukkan kita ke dalam surgaNya,” sang suami mencoba mengingatkan istrinya dengan berbagai cara.
“Baiklah. Aku tahan kesabaranku. Jika tahun depan kita belum juga memiliki anak, aku ingin Mas ceraikan aku,” ketusnya.
Tak lama setelah itu, sang istri jatuh sakit setelah beberapa hari merasa sering keletihan. Ketika di rumah sakit, hasil lab mengatakan bahwa ia mengalami gagal ginjal. Mendengar kenyataan tersebut, ia semakin emosional.
“Semua ini gara-gara dirimu. Selama ini aku menahan kesabaranku dan jadilah sekarang aku seperti ini. Mengapa engkau tak juga menceraikan aku?”
Karena kondisinya yang memburuk, sang istri harus dirawat di rumah sakit. Menurut dokter, tidak ada cara lain kecuali ia harus dioperasi. Masalahnya, harus ada orang yang mau mendonorkan ginjalnya.
Di saat seperti itu, tiba-tiba suaminya berpamitan. “Maaf, aku ada tugas keluar negeri. Aku berharap semoga engkau baik-baik saja”.
“Haah, di saat begini engkau pergi?”
“Ya, aku akan pergi karena tugas dan sekaligus mencari donatur ginjal, semoga dapat”.
Beberapa hari kemudian, ia mendapat kabar baik. Seorang pria bersedia mendonorkan ginjalnya.
Tak lama setelah itu, sang istri jatuh sakit setelah beberapa hari merasa sering keletihan. Ketika di rumah sakit, hasil lab mengatakan bahwa ia mengalami gagal ginjal. Mendengar kenyataan tersebut, ia semakin emosional.
“Semua ini gara-gara dirimu. Selama ini aku menahan kesabaranku dan jadilah sekarang aku seperti ini. Mengapa engkau tak juga menceraikan aku?”
Karena kondisinya yang memburuk, sang istri harus dirawat di rumah sakit. Menurut dokter, tidak ada cara lain kecuali ia harus dioperasi. Masalahnya, harus ada orang yang mau mendonorkan ginjalnya.
Di saat seperti itu, tiba-tiba suaminya berpamitan. “Maaf, aku ada tugas keluar negeri. Aku berharap semoga engkau baik-baik saja”.
“Haah, di saat begini engkau pergi?”
“Ya, aku akan pergi karena tugas dan sekaligus mencari donatur ginjal, semoga dapat”.
Beberapa hari kemudian, ia mendapat kabar baik. Seorang pria bersedia mendonorkan ginjalnya.
“Ya Allah... betapa mulianya pria itu. Sedangkan suamiku, suami macam apa dia. Sewaktu aku membutuhkannya, ia malah tidak berada di sampingku.”
Operasi berjalan lancar. Dengan izin Allah, ia pun sembuh dan bisa beraktifitas seperti sedia kala.
Setelah sepekan, suaminya datang dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda kelelahan. Suaminya yang selama ini tampak kuat sekarang kelihatan sering kecapekan.
Kabar gembira lainnya datang menghampiri. Sebulan setelah operasi ginjal, ia hamil. Kehadiran buah hati itu membuat suami mereka bahagia dan kehidupan rumah tangga keduanya pun kembali harmonis.
Setelah bayi mereka lahir dan sang suami telah menyelesaikan studi S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan kini bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah.
Pada suatu hari ketika sang suami dinas luar, istri menemukan sebuah buku harian. Rupanya suaminya lupa menyimpan kembali buku harian yang tak pernah diketahui istri itu.
Dibacanya buku harian itu, halaman demi halaman. Hampir saja ia pingsan saat membaca apa yang sebenarnya terjadi dalam enam tahun terakhir. Ternyata sang suami telah berbohong. Sebenarnya bukan suami yang mandul tetapi dirinya sendiri.
“Setelah mengetahui hasil lab itu, aku meminta dokter mengatakan hal yang sebaliknya. Agar istriku tidak putus asa. Semula dokter menolak, tetapi aku terus membujuknya [original_title] ia akhirnya mau mengatakan bahwa akulah yang mandul. Aku pribadi yang dikuatkan oleh Allah, aku telah ditunjukiNya dengan Al Quran untuk bisa bersabar dalam segala kondisi. Semoga Allah memberikan solusi kepada kami,” demikian secara singkat peristiwa di balik hasil pemeriksaan kesuburan enam tahun lalu.
“Jadi rupanya suamiku tidak pernah mandul, ia hanya berbohong demi menguatkan aku... Pantas saja waktu itu ia menemui dokter sendirian dan setelah itu baru mengajakku menemui dokter berdua...” sang istri sesenggukan dengan perasaan yang tak terbayangkan.
Bukan hanya itu. Sang suaminya ternyata telah berkorban luar biasa untuknya. Di halaman lain dalam buku harian itu, ia menemukan siapa sebenarnya pria misterius yang mendonorkan salah satu ginjal untuknya.
“Sungguh sulit mencari donatur ginjal. Aku sudah mengiranya. Sedangkan istriku harus sembuh. Namun, aku tak mau istriku tahu jika aku sendiri yang mendonorkan ginjal untuknya. Maka akupun pamit keluar negeri. Kuminta dokter merahasiakan identitasku saat aku mendonorkan salah satu gnjal itu,” sang istri tak bisa menahan ledakan tangisnya.
“Jadi karena itu engkau sering terlihat kelelahan. Engkau kini hidup dengan satu ginjal demi aku...”
Ketika sang suami pulang dari dinas luar, ia tak mampu menyembunyikan perasaan malunya. Tutur katanya kini jauh lebih lembut kepada suami, dan karena begitu malunya, ia tak mampu mengangkat wajahnya di hadapan suami. Ia tak mampu memandang suami [original_title] sekitar 100 hari.
Setelah bayi mereka lahir dan sang suami telah menyelesaikan studi S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan kini bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah.
Pada suatu hari ketika sang suami dinas luar, istri menemukan sebuah buku harian. Rupanya suaminya lupa menyimpan kembali buku harian yang tak pernah diketahui istri itu.
Dibacanya buku harian itu, halaman demi halaman. Hampir saja ia pingsan saat membaca apa yang sebenarnya terjadi dalam enam tahun terakhir. Ternyata sang suami telah berbohong. Sebenarnya bukan suami yang mandul tetapi dirinya sendiri.
“Setelah mengetahui hasil lab itu, aku meminta dokter mengatakan hal yang sebaliknya. Agar istriku tidak putus asa. Semula dokter menolak, tetapi aku terus membujuknya [original_title] ia akhirnya mau mengatakan bahwa akulah yang mandul. Aku pribadi yang dikuatkan oleh Allah, aku telah ditunjukiNya dengan Al Quran untuk bisa bersabar dalam segala kondisi. Semoga Allah memberikan solusi kepada kami,” demikian secara singkat peristiwa di balik hasil pemeriksaan kesuburan enam tahun lalu.
“Jadi rupanya suamiku tidak pernah mandul, ia hanya berbohong demi menguatkan aku... Pantas saja waktu itu ia menemui dokter sendirian dan setelah itu baru mengajakku menemui dokter berdua...” sang istri sesenggukan dengan perasaan yang tak terbayangkan.
Bukan hanya itu. Sang suaminya ternyata telah berkorban luar biasa untuknya. Di halaman lain dalam buku harian itu, ia menemukan siapa sebenarnya pria misterius yang mendonorkan salah satu ginjal untuknya.
“Sungguh sulit mencari donatur ginjal. Aku sudah mengiranya. Sedangkan istriku harus sembuh. Namun, aku tak mau istriku tahu jika aku sendiri yang mendonorkan ginjal untuknya. Maka akupun pamit keluar negeri. Kuminta dokter merahasiakan identitasku saat aku mendonorkan salah satu gnjal itu,” sang istri tak bisa menahan ledakan tangisnya.
“Jadi karena itu engkau sering terlihat kelelahan. Engkau kini hidup dengan satu ginjal demi aku...”
Ketika sang suami pulang dari dinas luar, ia tak mampu menyembunyikan perasaan malunya. Tutur katanya kini jauh lebih lembut kepada suami, dan karena begitu malunya, ia tak mampu mengangkat wajahnya di hadapan suami. Ia tak mampu memandang suami [original_title] sekitar 100 hari.
Disalin dari kisah Tarbiyah.net
No comments:
Post a Comment
silahkan masukan kritikan yang membangun